SEBAB KEMATIAN ADALAH BERAKHIRNYA
AJAL
Kebanyakan orang menyangka bahwa
kematian itu meskipun (faktanya) satu, akan tetapi mempunyai sebab kematian
yang bermacam-macam. Mereka mengatakan bahwa sebabnya beraneka ragam tetapi
kematian hanya satu. Mereka beranggapan bahwa kematian kadang-kadang disebabkan
oleh penyakit yang mematikan, seperti penyakit sampar, tusukan pisau, tembakan
peluru, terbakar api, terpenggal kepala, dan lain-lain. Semua itu -menurut
mereka- merupakan sebab-sebab yang langsung menghantarkan pada kematian. Artinya,
kematian itu datang karena sebab-sebab tersebut. Berdasarkan hal itu mereka
menyatakan bahwa segala sesuatu tadi merupakan sebab datangnya kematian. Jadi,
jika segala sesuatu tadi terjadi maka kematianpun terjadi. Dan jika segala
sesuatu tadi tidak terjadi maka kematian tidak terjadi. Kematian -menurut
mereka- terjadi karena adanya sebab-sebab tadi, bukan karena berakhirnya ajal.
Meskipun demikian mereka mengatakan -dengan lisan-lisan mereka- bahwa manusia
mati karena ajalnya dan yang mematikannya adalah sebab-sebab tadi, bukan Allah
Swt. Walaupun mereka mengatakan dengan lisan-lisan mereka bahwa yang
menghidupkan dan yang mematikan adalah Allah Swt.
Pada hakekatnya kematian itu
satu dan sebabnya juga satu, yaitu berakhirnya ajal. Dan yang mematikan adalah
Allah Swt saja. Yang secara langsung mewujudkan kematian adalah Allah Swt.
Sesuatu agar bisa dijadikan sebagai sebab harus menghasilkan secara pasti musabab. Dan musabab tidak mungkin
muncul kecuali dari sebabnya saja. Hal ini berbeda dengan keadaan (haal), yaitu
kondisi tertentu yang berkaitan dengan situasi tertentu yang dapat menghasilkan
juga sesuatu berdasarkan kebiasaan, tetapi kadangkala menghasilkan sesuatu yang
berbeda dengan kebiasaan, bahkan bisa jadi tidak menghasilkan sesuatu apapun.
Misalnya, kehidupan merupakan sebab adanya gerakan pada khewan. Apabila
terdapat kehidupan pada diri khewan maka ada gerakan yang ditimbulkannya. Dan
jika tidak ada kehidupan di dalamnya maka tidak ada gerakan yang ditimbulkannya.
Contoh lain, energi merupakan sebab yang menggerakkan motor. Apabila tidak ada
energi maka motor tidak akan bergerak. Hal ini berbeda dengan hujan jika
dihubungkan dengan tanaman. Hujan merupakan salah satu keadaan yang bisa
menumbuhkan tanaman, dan hujan bukanlah sebab yang menumbuhkan tanaman.
Kadangkala hujan dapat menumbuhkan tanaman, kadang juga turunnya hujan tidak
bisa menumbuhkan tanaman. Kadang-kadang tanaman itu tumbuh karena kelembaban tanahnya
seperti tanaman musim panas tetap tumbuh meskipun tidak turun hujan. Demikian
pula halnya dengan penyakit sampar, tembakan peluru dan lain-lain. Kadangkala
hal itu terjadi tetapi tidak menghantarkan pada kematian. Malah kadang-kadang
seseorang ditimpa kematian tanpa ada suatu apapun dari berbagai perkara yang
dianggap (dapat) mematikan menurut adat kebiasan.
Orang yang mencermati tentang
perkara-perkara yang dapat menghantarkan pada kematian, dan mencermati tentang
kematian itu sendiri dapat memastikan hal itu secara nyata. Ia akan menjumpai bahwa
kadangkala perkara yang dapat menghantarkan pada kematian menurut adat
kebiasaan (sudah terjadi) namun kematian tidak terjadi. Dan kadang-kadang ia
menjumpai bahwa kematian (terjadi) tanpa ditimbulkan oleh perkara-perkara yang
(biasanya) menghantarkan pada kematian. Misalnya saja seseorang yang ditusuk
dengan pisau sekali tusukan yang mematikan, sehingga para dokter sepakat bahwa
tusukan tersebut mematikan. Ternyata orang yang tertusuk tadi tidak mati, malah
dapat disembuhkan dan pulih seperti sedia kala. Kadang-kadang ada yang mati
(tiba-tiba) tanpa sebab yang jelas. Misalnya jantung manusia tiba-tiba terhenti
sehingga ia mati dalam kondisi tidak mampu dijelaskan jenis keadaan yang
menyebabkan terhentinya detak jantung oleh para dokter meskipun telah dilakukan
diagnosa yang sangat cermat. Kejadian-kejadian tersebut banyak dijumpai dan
diketahui oleh para dokter. Ribuan kasus telah terjadi di banyak rumah sakit di
berbagai belahan dunia. Kadangkala perkara yang menghantarkan pada kematian
–menurut kebiasaan- sudah ada akan tetapi orang itu tidak mati. Tetapi kadangkala juga (secara
tiba-tiba) kematian itu datang tanpa sebab yang jelas yang menghantarkannya
pada kematian. Karena itu (ada fenomena dimana) para dokter mengatakan bahwa si
fulan yang sedang menderita sakit parah dan menurut analisa dokter tidak ada gunanya
lagi (pengobatan), akan tetapi malah sembuh, dan hal ini diluar pengetahuan
dokter. Begitu pula menurut pendapat mereka (dokter) bahwa seseorang keadaannya
tidak membahayakan dan dalam keadaan sehat, lalu tiba-tiba keadaannya bertambah
parah, tergeletak dan mati. Semua itu adalah realita kehidupan yang disaksikan
oleh manusia dan para dokter. Ini menjelaskan bahwa seluruh peristiwa yang mengakibatkan kematian bukan
merupakan sebab kematian. Kalau hal itu dianggap sebagai sebab, tentu mau tidak
mau kematian itu terjadi tanpa ada sebab. Maksudnya, kematian bisa terjadi
tanpa ada sebab yang jelas. Berbagai kenyataan yang bertentangan tadi dan
selain perkara-perkara tersebut (yang biasanya menyebabkan kematian-pen) menegaskan
kematian tetap terjadi meskipun cuma sekali (pada satu kasus-pen), ini
menunjukkan secara pasti bahwa hal itu bukanlah sebab, melainkan suatu kondisi
(haal) saja yang menghantarkan pada kematian. Sebab kematian yang hakiki yang
menghasilkan musabab adalah perkara lain, bukan seperti yang dijelaskan
(sebelumnya). Terkadang benar apa yang dikatakan orang bahwa peristiwa yang
terjadi hingga mendatangkan kematian –menurut kebiasaan- merupakan kondisi
(haal) bukan menjadi sebab. Karena kadangkala (kematian itu terjadi-pen)
berlawanan dengan sebab-sebab tersebut. Namun terdapat sebab-sebab yang bisa
disaksikan secara nyata dan bersifat pasti yang menghantarkan pada kematian,
dan hal ini selalu ada sehingga jadilah ia sebagai sebab kematian. Misalnya,
leher dipenggal dan kepalanya hilang dari tempatnya. Hal ini menyebabkan
kematian. Detak jantung berhenti juga menyebabkan kematian secara pasti dan
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Contoh di atas
dan yang sejenisnya dari anggota tubuh manusia yang dapat menghantarkan pada
kematian secara pasti merupakan sebab kematian. Memang benar, pedang yang
dipenggalkan di leher merupakan satu kondisi dari sekian kondisi kematian,
bukan merupakan satu sebab kematian. Begitu pula tusukan sebuah pisau ke jantung
merupakan satu kondisi dari sekian kondisi kematian, bukan merupakan satu sebab
kematian. Dan contoh-contoh lain. Akan tetapi terpenggalnya leher dan
terhentinya detak jantung adalah sebab kematian. Lalu mengapa kita tidak
mengatakan bahwa hal ini merupakan sebab kematian? Jawabnya adalah, bahwa
terpenggalnya leher dan terpisahnya kepala dari badan tidak timbul dari diri
sendiri, tidak muncul dari leher itu sendiri dan juga bukan dari kepalanya. Hal
itu tidak terjadi kecuali disebabkan adanya pengaruh dari luar. Jadi, tidak
layak terpenggalnya leher dijadikan sebagai sebab. Yang melakukan pemenggalan
itulah yang cocok sebagai sebab bukan terpenggalnya, karena pemenggalan itu
tidak terjadi dari dirinya melainkan disebabkan pengaruh dari luar. Demikian
juga dengan terhentinya detak jantung, tidak terjadi (bukan berasal) dari
dirinya melainkan dari pengaruh luar. Karena itu terhentinya detak jantung tidak
layak dijadikan sebab. Yang menyebabkan terhentinya detak jantung itulah yang
cocok menjadi sebab kematian, bukan terhentinya detak jantung itu sendiri,
karena tidak muncul dari dirinya melainkan berasal dari pengaruh luar. Dengan
demikian tidak mungkin terpenggalnya leher dan terhentinya detak jantung itu
(sendiri yang) menjadi sebab kematian, sehingga tidak ada lagi (perkara) yang
layak dijadikan sebab kematian kecuali pengaruh luar.
Lebih dari itu Allah telah
menciptakan pada segala sesuatu itu khasiat-khasiat. Apabila khasiat itu tidak
ada maka hilanglah pengaruhnya. Khasiat tidak dijumpai kecuali dengan adanya
benda tempat khasiat itu melekat. Misalnya, Allah menciptakan pada mata itu
khasiat untuk melihat, menciptakan pada telinga khasiat untuk mendengar,
menciptakan pada urat syaraf khasiat untuk merasakan, menciptakan pada api
khasiat untuk membakar, menciptakan pada buah jeruk nipis khasiat rasa asam,
begitulah seterusnya. Khasiat itu bagi sesuatu merupakan hasil alami yang
melekat pada keberadaannya. Dia sama dengan salah satu sifat diantara
sifat-sifatnya. Seperti air, diantara sifat air yang alami adalah cair. Khasiat
air itu bisa dijadikan untuk keperluan irigasi. Contoh lainnya motor. Di antara
sifat motor yang alami adalah bergerak. Sifat motor tersebut dapat
menghantarkan uap panas. Begitu pula dengan jantung. Di antara sifat jantung
yang alami adalah berdenyut. Khasiat jantung ini memberi tanda kehidupan. Jadi,
keberadaan irigasi, uap panas dan kehidupan merupakan satu sifat diantara
sifat-sifat sesuatu (benda) yang secara alami memang memiliki khasiat-khasiat.
Namun bukan berarti adanya khasiat pada sesuatu merupakan sebab (berjalannya)
proses yang menampakkan pengaruh, bukan pula tidak adanya khasiat pada sesuatu
merupakan sebab tidak (berjalannya) proses yang menampakkan pengaruh. Itu saja
tidak cukup. Adanya khasiat membakar pada api (tidak serta merta) mampu
mewujudkan pembakaran. Karena itu (keberadaan khasiat pada benda/sesuatu-pen)
tidak dapat dijadikan sebab pembakaran. Apabila keberadaan khasiat tersebut
pada api bukan sebagai sebab yang memunculkan pembakaran, maka begitu juga jika
tidak ada khasiat pembakaran pada api bukan menjadi sebab bagi tidak adanya pembakaran.
Juga adanya khasiat kehidupan pada jantung tidak cukup mewujudkan kehidupan,
sehingga tidak layak dijadikan sebagai sebab bagi adanya kehidupan. Apabila
adanya khasiat kehidupan pada jantung bukan sebagai sebab yang memunculkan
kehidupan, maka begitu juga jika tidak adanya khasiat kehidupan pada jantung
bukanlah sebab tidak adanya kehidupan. Karena itu tidak bisa dikatakan bahwa hilangnya
sesuatu merupakan sebab bagi hilangnya khasiat. Yang menjadi sebab hilangnya khasiat pada
sesuatu adalah perkara (yang berasal dari) luar sesuatu itu sendiri. Perkara
(yang berasal dari) luar itulah yang menghilangkan khasiat pada sesuatu,
sehingga sesuatu tersebut tidak lagi memiliki khasiatnya. Bisa juga sesuatu itu
dihilangkan, sehingga hilang jugalah khasiatnya bersamaan dengan hilangnya sesuatu
tersebut. Sesuatu/benda yang dihilangkan khasiatnya, atau sesuatu bersama
khasiatnya (sekalgus) dihilangkan merupakan sebab hilangnya khasiat. Jadi,
bukan sesuatu itu sendiri yang menjadi sebab hilangnya khasiat. Pemaparan tadi
juga berlaku (untuk hal lain), seperti adanya kehidupan adalah khasiat diantara
khasiat-khasiat adanya kepala pada tubuh, juga menjadi salah satu khasiat di
antara khasiat-khasiat berdenyutnya jantung. Berdasarkan hal itu maka tidak bisa
dikatakan bahwa hilangnya kepala dari leher merupakan sebab kematian, atau
terhentinya denyut jantung adalah sebab kematian. (Perkara) yang pantas disebut
dengan madhannatus sabab (yang pantas disebut sebagai sebab-pen) itulah yang
menghilangkan khasiat kehidupan lantaran kepalanya hilang dari leher. Begitu
juga dengan terhentinya denyut jantung tidak bisa dikatakan sebagai sebab
kematian. Yang pantas disebut sebagai sebab –madhannatus sabab- itulah yang menghilangkan
khasiat kehidupan lantaran denyut jantungnya terhenti. Terpenggal leher atau
terhentinya denyut jantung bukanlah sebab kematian. Kematian yang sebenarnya
bukan didasarkan pada kerusakan yang dialami oleh anggota tubuh, seperti
terpenggalnya leher dan terhentinya denyut jantung. Tidak mungkin muncul
kerusakan apapun yang dialami oleh anggota tubuh kecuali karena adanya pengaruh
dari luar. Kehidupan merupakan sebuah khasiat dari khasiat-khasiat yang ada
-yang berhubungan dengan anggota tubuh- maka hilangnya anggota tubuh bukan
berasal dari anggota tubuh itu sendiri melainkan disebabkan oleh pengaruh dari
luar yang telah menghilangkan khasiat atau menghilangkan anggota tubuh
sekaligus dengan hilangnya khasiat. Demikian pula pengaruh luar bukan menjadi
sebab kematian, karena secara akal maupun fakta telah terbukti bahwa kadangkala
pengaruh luar itu ada tetapi ternyata kematian tidak terjadi. Namun, kadangkala
kematian itu terjadi tetapi tidak ditimbulkan oleh pengaruh dari luar. Yang
disebut dengan sebab mau tidak mau (pasti) melahirkan musabab. Maka tidak ada
lagi yang menjadi sebab kematian hakiki kecuali yang menghasilkan musabab
secara pasti berupa kematian, Yaitu di luar dari sesuatu (yang disebutkan-pen)
tadi.
Sebab hakiki ini tidak mampu
ditelusuri oleh akal, karena sebab tersebut tidak berada dalam jangkauan indera
(manusia). Karena itu kita harus diberitahu oleh Allah Swt. Untuk memastikan
pemberitaan tentang sebab hakiki mengenai kematian harus berdasarkan dalil yang
qath’i dilalah (penunjukkan dalilnya pasti) dan qath’i tsubut (sumber dalilnya
pasti) sehingga kita mengimaninya. Perkara ini merupakan bagian dari akidah
yang wajib diyakini dengan dalil yang qath’i (pasti) saja.
Allah Swt telah mengabarkan kepada
kita dalam banyak ayat bahwa sebab kematian adalah berakhirnya ajal, dan bahwa
Allahlah yang mematikan. Jadi, kematian terjadi secara pasti disebabkan oleh (berakhirnya)
ajal dan hal ini tidak dapat ditawar-tawar secara mutlak. Dengan demikian ajal
yang menjadi sebab kematian. Dan yang mematikan hanyalah Allah Swt. Dia pula
yang melangsungkan pelaksanaan kematian tersebut. Terdapat banyak ayat yang
menjelaskan hal itu. Allah berfirman:
وَمَا ڪَانَ لِنَفۡسٍ أَن تَمُوتَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ كِتَـٰبً۬ا مُّؤَجَّلاً۬ۗ
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati
melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.
(TQS. Ali Imran [3]: 145)
Maksudnya, kematian itu telah
ditetapkan secara tertulis, pada waktunya dan tidak bisa dimajukan atau
dimundurkan. Allah berfirman:
ٱللَّهُ يَتَوَفَّى ٱلۡأَنفُسَ حِينَ مَوۡتِهَا
Allah memegang jiwa (orang) ketika
matinya. (TQS. az-Zumar [39]: 42)
Maksudnya, Allah yang mematikan
tiap-tiap jiwa tatkala hendak dimatikan. Dia pula yang memberikan seorang hamba
itu hidup. Allah Swt berfiman:
رَبِّىَ ٱلَّذِى يُحۡىِۦ وَيُمِيتُ
Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan
mematikan. (TQS. al- Baqarah [2]: 258)
Maksudnya, Allah yang melangsungkan
kehidupan dan menjadikannya. Dia pula yang melangsungkan pelaksanaan kematian
dan penentuannya. Firman Allah Swt:
وَٱللَّهُ يُحۡىِۦ وَيُمِيتُۗ
Allah yang menghidupkan dan
mematikan. (TQS. Ali Imran [3]: 156)
Firman Allah tersebut sebagai jawaban
atas perkataan orang-orang kafir. Ayatnya adalah sebagai berikut:
يَـٰٓأَيُّہَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَقَالُواْ
لِإِخۡوَٲنِهِمۡ إِذَا ضَرَبُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ أَوۡ كَانُواْ غُزًّ۬ى
لَّوۡ كَانُواْ عِندَنَا مَا مَاتُواْ وَمَا قُتِلُواْ لِيَجۡعَلَ ٱللَّهُ
ذَٲلِكَ حَسۡرَةً۬ فِى قُلُوبِہِمۡۗ وَٱللَّهُ يُحۡىِۦ وَيُمِيتُۗ
وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ۬
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang
mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di
muka bumi atau mereka berperang: ‘Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah
mereka tidak mati dan tidak dibunuh’. Akibat (dari perkataan dan keyakinan
mereka) yang demikian itu Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di
dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang
kamu kerjakan. (TQS. Ali Imran [3]: 156)
Maksudnya, segala perkara berada
ditangan Allah. Kadang-kadang Allah menghidupkan yang sedang melakukan
perjalanan, atau orang yang sedang berperang, dan mematikan orang yang sedang
berdiri atau orang yang sedang duduk
sebagaimana yang Dia inginkan. Firman Allah Swt:
أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِى بُرُوجٍ۬ مُّشَيَّدَةٍ۬ۗ
Di mana saja kamu berada, kematian
akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.
(TQS. an-Nisa [4]: 78)
Maksudnya, di manapun kamu berada maka
kematian itu akan datang menjemputmu, walaupun kamu berada dalam
pengawalan/benteng yang kokoh dan berlapis-lapis.
Allah Swt berfirman:
قُلۡ يَتَوَفَّٮٰكُم مَّلَكُ ٱلۡمَوۡتِ ٱلَّذِى وُكِّلَ بِكُمۡ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُمۡ تُرۡجَعُونَ
Katakanlah: ‘Malaikat maut yang
diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu’. (TQS. as-Sajdah [32]:
11)
Ini merupakan jawaban bagi
orang-orang kafir. Maka Allah berfirman sesungguhnya mereka kembali kepada
Tuhannya dan mereka akan dimatikan, karena Allah akan mengutus malaikat maut
untuk mencabut ruh mereka. Ayatnya adalah sebagai berikut:
وَقَالُوٓاْ أَءِذَا ضَلَلۡنَا فِى ٱلۡأَرۡضِ أَءِنَّا لَفِى خَلۡقٍ۬ جَدِيدِۭۚ بَلۡ هُم بِلِقَآءِ رَبِّہِمۡ كَـٰفِرُونَ (١٠) ۞ قُلۡ يَتَوَفَّٮٰكُم مَّلَكُ ٱلۡمَوۡتِ ٱلَّذِى وُكِّلَ بِكُمۡ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُمۡ تُرۡجَعُونَ (١١)
Dan mereka berkata: ‘Apakah bila kami
telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam
ciptaan yang baru. Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya’. Katakanlah:
‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu;
kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan’. (TQS. as-Sajdah [32]:
10-11)
Maksudnya, pengambilan kembali
jiwa-jiwa mereka. Yang dimaksud dengan tawaffa adalah pengambilan ruh. Firman
Allah Swt:
قُلۡ إِنَّ ٱلۡمَوۡتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنۡهُ فَإِنَّهُ ۥ مُلَـٰقِيڪُمۡۖ
Katakanlah: ‘Sesungguhnya kematian yang
kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu’. (TQS.
al-Jumu’ah [62]: 8)
Maksudnya, bahwa kematian yang kamu
melarikan diri dari padanya, kemudian kamu tidak berani mengharapkan
kedatangannya karena takut dicabut ruh bersama kekafiranmu, maka kamu tidak
terlepas darinya dan dia akan datang menjemputmu tanpa ada kemustahilan. Allah
Swt berfirman:
إِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ فَلَا يَسۡتَـٔۡخِرُونَ سَاعَةً۬ۖ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ
Apabila telah datang ajal mereka,
maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan
(nya). (TQS. Yunus [10]: 49)
Maksudnya, jika ajal yang telah
ditentukan itu datang maka mereka tidak dapat menundanya dan tidak dapat
memajukannya sedikitpun waktunya. Allah menggunakan kata as-sa’ah sebagai
kiasan tentang sempitnya waktu. Allah Swt berfirman:
نَحۡنُ قَدَّرۡنَا بَيۡنَكُمُ ٱلۡمَوۡتَ
Kami telah menentukan kematian di
antara kamu. (TQS. al- Waaqi’ah [56]: 60)
Maksudnya, Kami (Allah) telah
menentukan diantara kalian kematian dengan ketentuan yang pasti dan telah Kami
klasifikasikan ketentuan tersebut bersama bagian rizki yang berbeda-beda dan
berlain-lainan seperti yang kalian dapatkan
berdasarkan kehendak Kami. Maka Allah bedakan umur-umur kalian, mulai dari yang
pendek, panjang termasuk ada yang pertengahan.
Ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang
lainnya merupakan dalil yang bersifat qath’i tsubut dan qath’i dilalah yang
menunjukkan sebuah pengertian yang tidak mungkin ada yang lain kecuali satu
pengertian, yaitu bahwa Allah-lah yang menghidupkan dan yang mematikan secara
pasti tanpa ada sebab-sebab maupun musabab-musababnya. Manusia tidak akan mati
kecuali dengan berakhir ajalnya. Bukan karena keadaan yang terjadi, lalu ia mengira bahwa
keadaan itulah yang menjadi sebab kematian. Dengan demikian sebab kematian
karena berakhirnya ajal, bukan keadaan/kondisi yang menyebabkan kematian. Di
sini tidak bisa dikatakan bahwa kematian itu disandarkan kepada Allah dengan anggapan
(bahwa hal itu dilihat) dari aspek penciptaannya, sedangkan pelakunya secara
langsung adalah manusia, atau (berasal) dari sebab-sebab yang menimbulkan
kematian, sebagaimana firman Allah Swt:
وَمَا رَمَيۡتَ إِذۡ رَمَيۡتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰۚ
Dan bukan kamu yang melempar ketika
kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (TQS. al-Anfal [8]: 17)
فَمَن
يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُ ۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُ ۥ لِلۡإِسۡلَـٰمِۖ
وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُ ۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُ ۥ ضَيِّقًا حَرَجً۬ا
Barangsiapa yang Allah menghendaki
akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk
(memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya
Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit. (TQS. al-An’am [6]: 125)
فَإِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَہۡدِى مَن يَشَآءُۖ
Maka sesungguhnya Allah menyesatkan
siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. (TQS.
Faathir [35]: 8)
Pernyataan tersebut di atas tidak
bisa diterima karena ada indikasi-indikasi yang mengalihkan berjalannya
perbuatan dari Allah kepada manusia, sehingga maknanya menjadi bahwa Allah yang
menciptakan lemparan, kelapangan dan sempitnya dada, menciptakan kesesatan dan
petunjuk, namun yang melangsungkan perbuatan itu bukanlah Allah, melainkan
manusia itu sendiri. Indikasi-indikasi ini berdasarkan akal dan syara’. Firman
Allah ramaita, maknanya bahwa terjadinya lemparan (dilakukan) dari tangan Rasul,
juga karena siksaan-Nya terhadap kesesatan serta pahala-Nya terhadap Islam (ketaatan)
menunjukkan adanya ikhtiar pada manusia, apakah ia memilih Islam atau memilih
kafir. Ini menunjukkan bahwa yang melangsungkan perbuatan adalah manusia.
Seandainya pelaku secara langsung itu adalah Allah maka tidak ada yang namanya
pahala ataupun azab. Demikian juga yang dapat disaksikan dan dapat diterima akal
kita apa yang terjadi pada Rasul. Beliau yang melakukan lemparan. Jadi,
manusialah yang diberi petunjuk dengan menggunakan akal sebaik-baiknya. Dan
manusia akan tersesat jika tidak menggunakan akalnya atau akalnya digunakan
dengan cara yang tidak benar. Hal ini berbeda dengan kematian. Tidak ada
indikasi apapun yang menunjukkan bahwa pelaku langsung kematian selain dari
Allah, di mana kematian terjadi bukan karena berakhirnya ajal. Telah dipastikan
bahwa tidak ada sebab yang dapat disaksikan tentang terjadinya kematian, dan
tidak ada nash yang memalingkan makna ayat-ayat dari pengertiannya yang sharih
(terang dan jelas). Demikian juga tidak ada indikasi yang menunjukkan tentang
adanya (pihak lain-pen) yang melangsungkan kematian selain Allah. Berarti,
makna yang terdapat pada ayat-ayat tersebut tetap jelas (tidak berubah) dan
sesuai dengan pengertian bahasa dan pengertian syara’, yaitu yang melangsungkan
kematian hanyalah Allah Swt.
Berdasarkan pemaparan tersebut jelas
bahwa menurut dalil aqli segala sesuatu yang dapat menimbulkan kematian -secara
normal merupakan keadaan (haal) saja, bukan sebagai sebab. Sebab yang hakiki
adalah selain perkara tersebut diatas. Ia tidak berada di bawah jangkauan panca
indera. Selain itu dapat dipastikan melalui dalil syara’ bahwa segala sesuatu
yang menimbulkan kematian bukanlah yang melahirkan kematian, dan bukan pula
sebagai sebab kematian. Sampai pada akhirnya ayat-ayat yang bersifat qath’i
tsubut dan qath’i dilalah menjelaskan bahwa sebab kematian adalah berakhirnya
ajal. Dan yang mematikan hanyalah Allah Swt.