Sabtu, 15 Oktober 2016

Munculnya Masalah Qadla dan Qadar


MUNCULNYA MASALAH
QADLA DAN QADAR



Apabila kita sisihkan topik tentang ‘pelaku dosa-dosa besar’ (murtakibu al-kabirah) yang membuat Washil bin Atha’ -pimpinan aliran mu’tazilah- keluar dari pengajian (halqah)-nya Hasan al-Bashri, maka hampir dapat dipastikan bahwa kita menemukan berbagai topik pembahasan di dalam ilmu kalam yang berasal dari topik-topik pembahasan yang pernah disinggung oleh para filosof Yunani. Pembahasan qadla dan qadar -sesuai dengan nama dan perkara yang mereka bahas- pernah dibahas oleh para filosof Yunani. Mereka berselisih pendapat dalam perkara ini. Perkara ini dinamakan dengan qadla dan qadar, disebut juga dengan istilah jabr dan ikhtiar, dikenal pula dengan hurriyatul iradah. Semuanya memiliki arti yang sama, yaitu apakah perbuatan manusia itu bebas (hurrun) dari sisi mewujudkannya ataupun tidak mewujudkannya; ataukah manusia itu dipaksa (majbur)? Makna seperti ini tidak pernah ada dalam benak kaum Muslim sebelum diterjemahkannya filsafat Yunani. Persoalan tersebut pernah dikaji oleh para filosof Yunani dan mereka berselisih pendapat dalam hal itu. Kalangan abiquriyyun berpendapat bahwa iradah itu berarti bebas dalam berikhtiar (memilih), dan manusia melakukan semua perbuatannya berdasarkan keinginan dan ikhtiarnya tanpa ada paksaan apapun. Sedangkan kalangan ruwaqiyyun berpendapat bahwa iradah itu dipaksa berjalan pada alur yang tidak mungkin dilampauinya. Manusia tidak melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya akan tetapi dia dipaksa melakukan segala sesuatu dan tidak berkuasa untuk melakukan (sesuatu) ataupun tidak melakukan. Tatkala Islam datang dan pemikiran-pemikiran filsafat telah tersebar luas muncul permasalahan yang sangat penting, yaitu tentang keadilan yang dinisbahkan kepada Allah. Allah itu Maha Adil. Rangkaian dari topik ini adalah timbulnya pembahasan tentang pahala dan siksaan. Reaksi berantai berikutnya adalah munculnya permasalahan tentang pelaksanaan seluruh perbuatan seorang hamba yang bertumpu pada metode pembahasan yang mereka jalani, terutama dengan topik pembahasan dan cabang dari pembahasan (sebelum)nya serta adanya pengaruh pembahasan-pembahasan yang bersifat filosofis. Apa yang mereka pelajari dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat yang berkaitan dengan pokok-pokok masalah yang mereka hadapi. Yang paling menonjol dalam permasalahan ini adalah topik yang dibahas oleh mu’tazilah. Ini merupakan asal/pokok permasalahan. Sementara pembahasan para ahli kalam lainnya muncul dalam rangka menjawab (pernyataan-pernyataan) kaum mu’tazilah. Karena itu (pernyataan-pernyataan) mu’tazilah dianggap sebagai asal dalam pembahasan qadla dan qadar, bahkan dalam seluruh pembahasan ilmu kalam. Pandangan mu’tazilah tentang keadilan Allah adalah pandangan yang mensucikan-Nya dari berbuat dzalim. Sikap mereka dalam masalah pahala dan siksa sesuai dengan sikap mereka tentang kesucian Allah (dari perbuatan dzalim) dan keadilan Allah. Sehingga mereka berpendapat bahwa keadilan Allah tidak memiliki makna kecuali dengan menyatakan bahwa manusia itu bebas berkehendak. Manusialah yang mengadakan (menciptakan) seluruh perbuatannya sendiri. Manusia mampu untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukannya. Jadi, jika seseorang melakukan (sesuatu) dengan kehendaknya sendiri atau meninggalkan (sesuatu) dengan kehendaknya sendiri, maka ganjaran atau siksaan (terhadap manusia itu-pen) dapat diterima oleh akal dan adil. Namun, jika Allah menciptakan dan memaksanya untuk berbuat sesuai dengan cara tertentu, sehingga orang yang taat dipaksa melakukan ketaatan, dan orang yang maksiat dipaksa melakukan kemaksiatan, lalu Allah menyiksa orang yang berbuat maksiat dan memberi pahala orang yang taat, maka hal itu tidak termasuk adil sedikitpun. Mereka mengqiyaskan (menganalogkan) perkara yang ghaib terhadap yang tampak (syahid). Mengqiyaskan Allah dengan manusia dan menundukkan Allah terhadap ketentuan-ketentuan alam ini secara total seperti yang dilakukan para filosof Yunani. Mereka mewajibkan Allah untuk berlaku adil seperti yang dibayangkan oleh manusia. Pokok permasalahannya adalah tentang pahala dan siksa dari Allah terhadap perbuatan hamba. Ini merupakan topik pembahasan yang diberi nama qadla dan qadar, atau jabr dan ikhtiar, atau hurriyatul iradah. Visi pembahasan mereka mengikuti visi para filosof Yunani. Mereka membahas tentang iradah (kehendak) dan penciptaan perbuatan manusia. Dalam masalah iradah, mereka mengatakan: Kami memandang bahwa orang yang menginginkan kebaikan adalah orang yang baik-baik, orang yang menginginkan kejahatan adalah orang yang jahat, orang yang menginginkan keadilan adalah orang yang adil, dan orang yang menginginkan kedzaliman adalah orang yang dzalim. Kalau iradah Allah berhubungan dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta berupa kebaikan dan kejahatan, maka kebaikan dan kejahatan itu ditujukan kepada Allah Swt. Akibatnya, orang yang berkehendak (melakukan suatu perbuatan baik, jahat, adil, dzlaim-pen) disifati dengan kebaikan, kejahatan, keadilan dan kedzaliman. Hal seperti ini tentu mustahil bagi Allah Swt. Mereka mengatakan, bahwasanya Allah seandainya menghendaki kekafiran pada seseorang maka ia menjadi kafir. Dan jika Dia menghendaki kemaksiatan pada seseorang maka jadilah ia berbuat maksiat. Jadi (menurut mereka-pen) Allah tidak mencegahnya dari berbuat kekafiran dan kemaksiatan. Karena itu bagaimana bisa dibayangkan bahwa Allah menghendaki dari Abu Lahab kekafiran, kemudian menyuruhnya untuk beriman dan mencegahnya dari kekafiran? Seandainya seorang makhluk melakukan hal itu, maka berarti semuanya bodoh. Maha Suci Allah dari hal yang demikian, Maha Tinggi dan Maha Besar Allah. Jika kekafiran orang yang kafir dan kemaksiatan orang yang maksiat karena kehendak dari Allah, maka mereka tidak berhak mendapatkan siksa. Karena perbuatan mereka berdua merupakan ketaatan terhadap iradah Allah.

Begitulah, mereka terus menerus mencari dalil dalam topik-topik yang bersifat mantiq. Kemudian menyudahinya dengan dalil-dalil naqli dari al-Quran al-Karim. Mereka berdalil dengan firman Allah Swt:

وَمَا ٱللَّهُ يُرِيدُ ظُلۡمً۬ا لِّلۡعِبَادِ (٣١)

Dan Allah tidak menghendaki berbuat kedzaliman terhadap hamba-hamba-Nya. (TQS. al-Mukmin [40]: 31)

سَيَقُولُ ٱلَّذِينَ أَشۡرَكُواْ لَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَآ أَشۡرَڪۡنَا وَلَآ ءَابَآؤُنَا وَلَا حَرَّمۡنَا مِن شَىۡءٍ۬‌ۚ ڪَذَٲلِكَ كَذَّبَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ

Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak pula kami mengharamkan barang sesuatu apapun’. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul). (TQS. al-An’aam [6]: 148)

قُلۡ فَلِلَّهِ ٱلۡحُجَّةُ ٱلۡبَـٰلِغَةُ‌ۖ فَلَوۡ شَآءَ لَهَدَٮٰكُمۡ أَجۡمَعِينَ (١٤٩)

Katakanlah: ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat. Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya’. (TQS. al-An’aam [6]: 149)

ٱللَّهُ بِڪُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِڪُمُ ٱلۡعُسۡرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (TQS. al-Baqarah [2]: 185)

وَلَا يَرۡضَىٰ لِعِبَادِهِ ٱلۡكُفۡرَ‌ۖ

Dan Dia tidak meridlai kekafiran bagi hamba-Nya. (TQS. az-Zumar [39]: 7)

Mereka melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat yang bertentangan dengan pendapat mereka. Contohnya firman Allah Swt:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيۡهِمۡ ءَأَنذَرۡتَهُمۡ أَمۡ لَمۡ تُنذِرۡهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ (٦)

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (TQS. al-Baqarah [2]: 6)

خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَعَلَىٰ سَمۡعِهِمۡ‌ۖ وَعَلَىٰٓ أَبۡصَـٰرِهِمۡ غِشَـٰوَةٌ۬‌ۖ

Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. (TQS. al-Baqarah [2]: 7)

بَلۡ طَبَعَ ٱللَّهُ عَلَيۡہَا بِكُفۡرِهِمۡ

Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mata hati mereka karena kekafirannya. (TQS. an-Nisa [4]: 155)

Kemudian mereka mengakhirinya berdasarkan pendapat yang mereka anut, lalu mereka dakwahkan. Pendapat mereka yang terkenal adalah bahwa manusia memiliki hurrriyatul iradah (kebebasan berkehendak), baik untuk melakukan sesuatu ataupun meninggalkan sesuatu. Apabila ia melakukannya maka hal itu karena keinginannya sendiri. Dan jika ia meninggalkannya maka hal itu karena keinginannya sendiri juga. Adapun masalah khalqul af’al (penciptaan perbuatan) mu’tazilah mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan hamba adalah diciptakan oleh mereka sendiri dan (berasal) dari perbuatan mereka sendiri, bukan dari perbuatan Allah. Jadi termasuk dalam kemampuan mereka untuk mengerjakan ataupun untuk meninggalkan suatu perbuatan tanpa adanya campur tangan kekuasaan Allah. Hal itu dapat dibuktikan dengan dalil bahwa manusia dapat membedakan antara aktivitas (gerakan) ikhtiyariyah (yang timbul atas keinginannya sendiri) dengan aktivitas idlthirariyah (yang bukan atas keinginannya sendiri). Seperti aktivitas orang yang ingin menggerakkan tangannya dengan gerakan orang yang gemetar. Juga seperti perbedaan antara orang yang naik keatas menara dan orang yang terjatuh dari menara. Aktivitas ikhtiyariyah dikuasai oleh manusia dan dialah yang menciptakan (mengadakan)nya. Sedangkan aktivitas idltirariyah maka manusia tidak ikut campur didalamnya. Tambahan lagi kalau manusia bukan pencipta atas perbuatannya maka taklif (pembebanan hukum syara-pen) tidak berguna. Sebab, jika dia tidak mampu untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan maka secara akal tidak dibenarkan mengatakan kepadanya ‘kerjakan dan jangan kerjakan’. Jika demikian kondisinya maka tidak layak dia menjadi obyek pujian dan celaan serta pahala dan siksa. Begitulah, mereka terus menerus mencari dalil dalam topik-topik yang bersifat mantiq sesuai dengan pendapat mereka, kemudian menyudahinya dengan dalil-dalil naqli. Mereka mengambil dalil atas pendapat-pendapat mereka dengan sejumlah ayat, di antaranya firman Allah:

فَوَيۡلٌ۬ لِّلَّذِينَ يَكۡتُبُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِأَيۡدِيہِمۡ ثُمَّ يَقُولُونَ هَـٰذَا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ

Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dariAllah’. (TQS. al-Baqarah [2]: 79)

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِہِمۡ‌ۗ

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (TQS. ar-Ra’d [13]: 11)

مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءً۬ا يُجۡزَ بِهِ

Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (TQS. an-Nisa [4]: 123)

ٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا ڪَسَبَتۡۚ

Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. (TQS. al-Mu’min [40]: 17)

قَالَ رَبِّ ٱرۡجِعُونِ (٩٩) لَعَلِّىٓ أَعۡمَلُ صَـٰلِحً۬ا.. (١٠٠)

Dia berkata: ‘Ya Tuhanku kembalikanlah aku (kedunia) agar aku berbuat amal yang shaleh’. (TQS. al-Mukminun [23]: 99-100)

Mereka menta’wilkan apa yang terdapat dalam ayat yang bertentangan dengan pendapat mereka, seperti firman Allah:

وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ (٩٦)

Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (TQS. ash-Shaaffaat [37]: 96)

ٱللَّهُ خَـٰلِقُ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬‌ۖ

Allah menciptakan segala sesuatu. (TQS. az-Zumar [39]: 62)

Lalu mereka tutup dengan pendapat yang dianutnya di dalam masalah penciptaan perbuatan (khalqul af’al), yaitu bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri dan dia mampu untuk melaksanakan sesuatu ataupun tidak melakukannya. Berdasarkan metode mutakallimin dalam pembahasan suatu perkara dan apa yang menjadi rentetan (masalah yang timbul) darinya, maka dari masalah tentang khalqul af’al muncul masalah (baru yaitu) at-tawallud (masalah yang dilahirkan akibat dari suatu perbuatan). Tatkala mu’tazilah menyatakan bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh dirinya sendiri, lalu muncul pertanyaan yaitu bagaimana (pendapat) tentang perkara yang lahir akibat dari perbuatannya? Apakah hal itu juga dari ciptaannya ataukah dari ciptaan Allah? Contohnya seperti rasa sakit yang dirasakan oleh orang yang dipukul, dan perasaan lain yang dihasilkan dari perbuatan manusia. Atau seperti kemampuan memotong yang dihasilkan oleh pisau, kelezatan kesehatan, keinginan, panas, dingin, basah, kering, takut, berani, lapar, kenyang dan lain-lain. Mereka mengatakan semua ini disebabkan perbuatan manusia karena manusia yang memunculkannya ketika melakukan suatu perbuatan. Hal itu adalah hasil dari perbuatan manusia. Berarti diciptakan oleh manusia.

Inilah masalah ‘qadla dan qadar’. Dan inilah pendapat mu’tazilah tentang qadla dan qadar. Intinya bahwa qadla dan qadar adalah tentang keinginan (iradah) perbuatan seorang hamba dan apa yang timbul pada sesuatu berupa khasiat hasil perbuatan manusia. Dan pendapat mereka pada dasarnya adalah bahwa seorang hamba bebas berkehendak dalam seluruh perbuatannya, dan si hambalah yang menciptakan perbuatannya serta menciptakan khasiat yang terdapat pada sesuatu yang berasal dari perbuatannya.

Pendapat mu’tazilah ini menimbulkan kemarahan kaum Muslim. Pendapatnya baru bagi mereka dan termasuk pendapat yang lancang terhadap asas pertama dalam agama, yaitu akidah. Karena itu mereka bangkit menjawab pendapat tadi. Muncul kelompok yang bernama jabariyah. Tokoh mereka yang terkenal adalah Jahm bin Shafwan. Mereka mengatakan bahwa manusia dipaksa (untuk melakukan suatu perbuatan-pen). Manusia tidak memiliki kebebasan berkehendak (iradah) dan tidak mampu menciptakan perbuatannya. Manusia bagaikan bulu yang ditiup angin atau bagaikan kayu ditengah-tengah gelombang. Yang menciptakan segala perbuatan (manusia) adalah Allah. Mereka mengatakan: Apabila kita katakan bahwa seorang hamba menciptakan segala perbuatannya, itu berakibat pembatasan terhadap kekuasaan Allah dan itu berarti pula tidak mencakup segala sesuatu. Seorang hamba adalah mitra (syarik) bagi Allah dalam menciptakan apa yang ada di alam ini. Sedangkan suatu benda tidak mungkin bekerja sama yang di dalamnya ada dua kekuasaan (qudrah). Apabila kekuasaan Allah yang menciptakannya maka manusia tidak ada urusan didalamnya. Namun jika kekuasaan manusia yang menciptakannya maka tidak ada urusannya dengan kekuasaan Allah. Tidak mungkin sebagiannya (tercampur) dengan kekuasaan Allah dan sebagian lagi (tercampur) dengan kekuasaan hamba. Karena itu Allahlah yang menciptakan perbuatan hamba dan dengan kehendak-Nya pulalah seorang hamba melakukan perbuatannya. Mereka berpendapat bahwa segala perbuatan hamba berada dibawah kekuasaan Allah saja. Dan kekuasaan hamba tidak memiliki pengaruh didalamnya. Manusia tidak lain hanyalah obyek terhadap sesuatu yang Allah jalankan atas tangan-Nya. Manusia itu dipaksa (untuk melakukan sesuatu-pen) secara mutlak. Manusia dan benda mati itu sama saja, tidak berbeda kecuali dalam penampakannya. Begitulah mereka terus mencari bukti terhadap pendapat-pendapat mereka dan menggunakan dalil dengan ayat-ayat al-Quran al-Karim. Contohnya firman Allah:

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah. (TQS. at-Takwir [81]: 29)

وَمَا رَمَيۡتَ إِذۡ رَمَيۡتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ‌ۚ

Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. (TQS. al-Anfal [8]: 17)

إِنَّكَ لَا تَہۡدِى مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَہۡدِى مَن يَشَآءُ‌ۚ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (TQS. al-Qashash [28]: 56)

وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ (٩٦)

Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (TQS. ash-Shaaffaat [37]: 96)

ٱللَّهُ خَـٰلِقُ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬‌ۖ

Allah menciptakan segala sesuatu. (TQS. az-Zumar [39]: 62)

Mereka menta’wilkan ayat-ayat yang menunjukkan tentang keinginan (iradah) seorang hamba dan penciptaannya terhadap perbuatan-perbuatannya. Rangkaian dari hal itu adalah munculnya perkataan bahwa apa yang dihasilkan dari perbuatan hamba berupa khasiat segala sesuatu, seperti rasa lezat, lapar, berani, kemampuan untuk memotong dan membakar, dan lain-lain adalah dari Allah.

Disamping itu muncul ahli sunnah wa al-jamaah yang menolak (pendapat-pendapat) mu’tazilah. Ahli sunnah mengatakan bahwa perbuatan hamba seluruhnya berdasarkan iradah dan masyi-ah Allah (keinginan dan kehendak-Nya). Iradah dan masyi-ah memiliki makna yang sama, yaitu sifat azali di dalam kehidupan yang mengharuskan pengkhususan terhadap salah satu yang dikuasai pada suatu waktu secara bersamaan dengan penyamaan kadar kekuasaan terhadap seluruhnya. Seluruh perbuatan hamba terkait dengan segala ketetapan-Nya. Apabila Dia menghendaki sesuatu dan Dia katakan ‘jadi’ maka ‘jadilah’. Ketetapan-Nya merupakan ungkapan atas perbuatan serta bertambahnya ketentuan-ketentuan Allah. Allah berfirman:

فَقَضَٮٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَـٰوَاتٍ۬

Maka Dia menjadikannya tujuh langit. (TQS. Fushshilat [41]: 12)

وَقَضَىٰ رَبُّكَ

Dan Tuhanmu telah memerintahkan. (TQS. al-Isra [17]: 23)

Yang dimaksud dengan qadla ialah al-maqdli (yang ditetapkan/dipenuhi). Bukan termasuk salah satu sifat Allah. Perbuatan hamba dengan takdir Allah adalah pembatasan setiap makhluk sesuai dengan batasannya berupa baik, buruk, manfaat, mudlarat, dan apa yang dikandungnya berupa waktu dan tempat, serta apa yang diakibatkannya berupa pahala dan sanksi. Maksudnya adalah peng-generalisiran terhadap keinginan dan kekuasaan Allah, karena segala sesuatu diciptakan oleh Allah. Dan Dia memerlukan qudrah dan iradah untuk meniadakan penekanan dan pemaksaan. Mereka berkata jika dikatakan orang bahwa perkataan kalian mengandung arti bahwa seseorang yang kafir dipaksa pada kekafirannya, dan orang yang fasik dipaksa pada kefasikannya, maka tidak benar membebani mereka dengan keimanan dan ketaatan. Kami katakan –maksudnya mereka menjawab– sungguh Allah Swt menginginkan dari keduanya, kafir dan fasik, disebabkan pilihan mereka berdua, tidak ada paksaan. Allah Swt mengetahui mereka berdua, kafir dan fasik berdasarkan pilihan (sukarela), maka tidak mengharuskan mentaklif perkara yang mustahil. Mereka mengatakan tentang perbuatan hamba sebagai jawaban atas mu’tazilah dan jabariyah: Hamba memiliki perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiariyah. Diberi pahala jika perbuatan itu mengandung ketaatan, dan diberi sanksi jika perbuatannya mengandung maksiat. Mereka menjelaskan aspek ikhtiariyah sementara disisi lain mereka mengatakan bahwa Allah sendiri yang menciptakan seluruh perbuatan (hamba) dan mewujudkannya. Mereka berkata, bahwa Pencipta perbuatan hamba adalah Allah. Kekuasaan (qudrah) dan iradah hamba terdapat di dalam sebagian perbuatannya, seperti tindakan-tindakan kekerasan, dan tidak terdapat pada sebagian lainnya, seperti gerakan gemetar. Allah Swt adalah Pencipta segala sesuatu sedangkan hamba adalah orang yang mengerjakan (kasb). Lalu mereka menjelaskannya seperti berikut: Bahwa pemalingan hamba akan qudrah dan iradahnya terhadap perbuatan tersebut adalah kasbun (pelaksanaan). Dan penciptaan Allah terhadap perbuatan sebagai reaksi dari kasb adalah khalqun (penciptaan). Satu yang dikuasai masuk (terdapat) di dalam dua kekuasaan akan tetapi dua aspek yang berbeda. Jadi, perbuatan dikuasai oleh Allah Swt dari sisi penciptaan, dan dikuasai oleh hamba dari sisi pelaksanaan. Dengan kata lain, Allah Swt melakukan (hal yang lazim yaitu) menciptakan perbuatan ketika hamba mampu (qudrah) dan berkeinginan (iradah), bukan dengan kekuasaan hamba dan iradahnya. Penggabungan ini disebut kasb. Mereka menjadikan ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh kelompok jabariyah tentang ciptaan Allah dan iradah-Nya terhadap perbuatan (manusia) sebagai dalil atas perkataan mereka. Mereka menjadikan ayat-ayat berikut ini sebagai dalil bahwa kasb itu berasal dari hamba. Firman Allah:

جَزَآءَۢ بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ (١٧)

Sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (TQS. as-Sajdah [32]: 17)

فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡ‌ۚ

Maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir. (TQS. al-Kahfi [18]: 29)

لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡہَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡ‌ۗ

Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (TQS. al- Baqarah [2]: 286)

Mereka mengklaim bahwa mereka telah menjawab (pernyataan-pernyataan) mu’tazilah dan jabariyah. Namun, kenyataannya pendapat mereka dan pendapat jabariyah adalah sama. Mereka adalah kaum jabariyun. Mereka telah gagal dalam masalah kasb, tidak berdasarkan proses akal. Tidak ada bukti secara aqli yang menunjukkan hal itu. Juga tidak ada dalil secara naqli, karena tidak terdapat dalil yang berasal dari nash-nash syara tentang hal itu. Itu adalah usaha yang gagal untuk mengkompromikan pendapat mu’tazilah dan jabariyah.

Walhasil, masalah qadla dan qadar menempati peranan penting pada mutakallimin. Mereka semuanya telah menjadikan perbuatan hamba (manusia) dan apa yang muncul dari perbuatan tersebut –berupa khasiat-khasiat yang ditimbulkan oleh manusia disebabkan perbuatannya terhadap sesuatu- sebagai obyek pembahasan. Mereka menjadikan asas pembahasan pada (jawaban dari pertanyaan) apakah perbuatan hamba serta khasiat-khasiat yang ditimbulkan dari perbuatannya itu diciptakan oleh Allah ataukah ciptaan hamba? Dan apakah hal itu terjadi dengan iradah Allah atau dengan iradah hamba? Penyebab munculnya pembahasan ini adalah karena mu’tazilah telah mengambil filsafat Yunani begitu saja, dengan nama atau sebutan ‘al-qadla dan al-qadar’ atau hurriyatul iradah atau al-jabr dan ikhtiyar. Pembahasan mereka terhadap masalah ini -menurut sudut pandang yang mereka lihat- menyelaraskan dengan sesuatu yang wajib bagi Allah, seperti sifat adil. Ini mengakibatkan jabariyah dan ahli sunnah menolak pendapat mu’tazilah. Pendapat mereka mencakup satu pembahasan dan satu asas. Mereka –seluruhnya- membahas dari sisi sifat-sifat Allah, bukan dari sisi pokok permasalahannya. Mereka mencampuradukkan iradah dan qudrah Allah pada perbuatan hamba dengan khasiat yang ditimbulkan oleh hamba terhadap sesuatu, lalu mereka bahas: Apakah perbuatan dan khasiat yang di timbulkan oleh hamba terhadap sesuatu itu berdasarkan qudrah dan iradah Allah, atau berdasarkan qudrah dan iradah hamba (manusia)? Dengan demikian qadla dan qadar itu adalah segala perbuatan hamba dan khasiat yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia di dalam segala sesuatu. Qadla adalah perbuatan-perbuatan hamba, sedangkan qadar adalah khasiat segala sesuatu.

Keberadaan qadla adalah (menyangkut) perbuatan-perbuatan hamba. Hal itu tampak jelas dalam pembahasan mereka dan perselisihan mereka didalamnya. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa seorang hamba melakukan perbuatan berdasarkan qudrah dan iradahnya. Ada juga kelompok yang menolak pendapat mereka dengan mengatakan bahwa perbuatan hamba itu terwujud berdasarkan qudrah dan iradah Allah, bukan berdasarkan qudrah dan iradah hamba. Ada pula yang menolak kedua (pendapat tersebut) dengan mengatakan bahwa perbuatan hamba terwujud karena Allah menciptakannya ketika qudrah dan iradah untuk berbuat itu timbul, bukan karena qudrah dan iradah seorang hamba. Ini menunjukkan bahwa qadla berarti (menyangkut) perbuatan-perbuatan hamba.

Sedangkan qadar adalah khasiat-khasiat yang dilahirkan hamba pada sesuatu. Hal itu tampak jelas dalam pembahasan mereka dan perselisihan mereka didalamnya. Tatkala mereka membahas apa yang dilahirkan dari perbuatan hamba maka mereka membahas pula khasiat-khasiat yang ditimbulkannya. Mereka berkata: Apabila kita menambahkan tepung kanji dan gula kemudian keduanya kita masak, maka lahirlah srikaya. Apakah rasa dan warna srikaya itu bagian dari ciptaan kita atau bagian dari ciptaan Allah? Apakah keluarnya ruh dari sembelihan, melayangnya batu dari sebuah lemparan, penglihatan ketika kita membuka mata kita, remuknya kaki ketika terjatuh dan pulihnya cidera apabila telah diperban (diobati) dan contoh-contoh lain yang sejenis, apakah hal itu bagian dari ciptaan kita ataukah bagian dari ciptaan Allah? Artinya pembahasan ini adalah pembahasan tentang khasiat-khasiat. Pembahasan tersebut menunjukkan pertentangan mereka dalam menetapkan hal-hal yang dilahirkan tadi. Bisyir bin Mu’tamir selaku ketua kelompok mu’tazilah di Baghdad berkata: Segala hal yang dilahirkan dari perbuatan kita adalah ciptaan kita. Jadi, apabila saya membukakan mata seseorang sehingga ia melihat sesuatu, maka penglihatannya terhadap sesuatu adalah hasil perbuatan saya, karena dilahirkan dari perbuatan saya. Begitu pula warna yang kita buat di dalam makanan misalnya, rasa dan aromanya merupakan hasil perbuatan kita. Demikian pula dengan rasa sakit, kelezatan, kesehatan, syahwat dan lain-lain sebagainya. Semua itu bagian dari perbuatan manusia. Abu al-Hujail al-Allaf, salah seorang pemuka kelompok mu’tazilah berkata: Disana terdapat perbedaan antara segala hal yang dilahirkan. Setiap sesuatu yang timbul dari perbuatan-perbuatan manusia yang diketahui caranya, maka hal itu adalah dari perbuatannya. Dan sesuatu yang tidak diketahui caranya maka bukan berasal dari perbuatannya. Rasa sakit yang dihasilkan dari sebuah pukulan, melayangnya batu ke atas apabila dilempar ke atas ataupun ke bawah jika dilemparkan ke bawah, dan contoh-contoh semisalnya, merupakan perbuatan manusia. Sedangkan warna, rasa, panas, dingin, basah, kering , takut, berani, lapar, kenyang, semuanya termasuk perbuatan Allah. An-Nadzdzam berkata: Bahwa manusia tidak melakukan perbuatan kecuali harakah (gerakan). Maka sesuatu yang bukan harakah (gerakan) bukan dari ciptaannya. Manusia tidak akan melakukan gerakan kecuali pada dirinya, sedangkan pada yang lainnya tidak. Apabila seseorang menggerakkan tangannya maka hal itu adalah perbuatannya. Namun apabila ia melempar sebuah batu lalu batu itu bergerak keatas atau kebawah maka gerakan batu tadi bukan dari perbuatan manusia, melainkan perbuatan Allah. Artinya, Allah-lah yang menentukan batu itu untuk bergerak apabila didorong (dilempar) oleh orang yang mendorong (melempar), dan seterusnya. Komposisi warna, rasa, bau, rasa sakit, dan lezat bukan dari perbuatan manusia karena hal itu bukan termasuk gerakan (harakah). Perselisihan pandangan tentang tawallud kenyataannya menjelaskan bahwa hal itu adalah perselisihan yang menyangkut khasiat-khasiat sesuatu: Apakah khasiat-khasiat itu berasal dari perbuatan manusia atau perbuatan Allah? Berarti pembahasan dan perselisihan di dalam perkara ini menyangkut khasiat-khasiat yang ditimbulkan oleh manusia pada sesuatu. Begitulah pembahasan tersebut berjalan di dalam topik yang sama dan berdasarkan satu cara dikalangan para mutakallimin. Pembahasan yang menyangkut hal-hal yang dilahirkan oleh perbuatan, atau dengan kata lain khasiat-khasiat yang ditimbulkan manusia pada sesuatu, hanyalah cabang. Hal ini muncul karena (adanya) pembahasan tentang perbuatan seorang hamba. Pembahasan tentang khasiat merupakan (topik) pembahasan kedua di dalam pertentangan dikalangan mu’tazilah, ahli sunnah dan jabariah. Pembahasan tentang perbuatan hamba adalah pembahasan yang utama (beredar) dikalangan mutakallimin. Perdebatan dan diskusi tentang perkara ini lebih menonjol dari pada tentang khasiat.

Qadla dan qadar adalah satu sebutan bagi suatu nama, walaupun tersusun dari dua kata namun keduanya bersatu dan saling bergandengan satu dengan yang lainnya. Pembahasan qadla dan qadar kemudian lebih menonjol dari pada pembahasan tentang perbuatan manusia, melebihi pembahasan tentang khasiat-khasiat yang ditimbulkan oleh manusia. Diskusi mengenai qadla dan qadar telah berlangsung hangat dan orang banyak dapat memahaminya dalam bentuk yang saling bertentangan dengan bentuk lainnya. Setelah zamannya para pemuka mu’tazilah dan pemuka ahli sunnah, datanglah periode murid-murid dan para pengikut mereka. Lalu berlangsung diskusi diantara mereka yang berubah-ubah (keadaannya) setiap masa. Karena kelompok mu’tazilah itu minoritas dan mayoritasnya adalah ahli sunnah maka jalannya diskusi cenderung kepada pendapat ahli sunnah. Mereka berpolemik mengenai qadla dan qadar. Mereka membuat makna-makna baru terhadap qadla dan qadar yang muncul dari khayalan mereka. Mereka berusaha menerapkan lafadz-lafadz bahasa maupun lafadz-lafadz syara terhadapnya sehingga sebagian mereka mengatakan bahwa qadla dan qadar adalah rahasia diantara rahasia-rahasia Allah yang tidak diketahui oleh seorangpun. Sebagian lagi mengatakan tidak boleh membahas qadla dan qadar secara mutlak karena Rasul mencegahnya berdasarkan sebuah dalil, yaitu sabda Rasulullah saw: 



Sebagian lagi membedakan antara qadla dan qadar lalu mengatakan bahwa qadla adalah menghukumi secara keseluruhan dalam perkara yang bersifat kulliyyat (perkara yang menyeluruh) saja. Sedangkan qadar adalah menghukumi secara terperinci dalam perkara juziyyat (hal yang merupakan cabang) dan perinciannya. Sebagian mereka mengatakan bahwa qadar adalah rancangan, sedangkan qadla adalah pelaksanaan. Berdasarkan pendapat ini Allah Swt merancang suatu perbuatan, maksudnya membuat skema dan rancangannya. Allah telah memperkirakan suatu perbuatan, itu disebut qadar. Dan Allah Swt melaksanakan suatu perbuatan dan merealisasikannya, maka Dia telah menunaikan suatu perbuatan, dan itu disebut qadla. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qadar adalah at-taqdir (perkiraan), dan yang dimaksud dengan qadla adalah penciptaan. Sebagian mereka menjadikan dua kata ini saling berhubungan. Mereka mengatakan bahwa qadla dan qadar adalah dua perkara yang saling berhubungan, tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya, karena salah satu dari keduanya menempati posisi dasar atau asas, yaitu qadar, dan yang satunya menempati posisi bangunan, yaitu qadla. Barangsiapa yang menghendaki pemisahan diantara keduanya berarti menginginkan penghancuran bangunan dan membatalkannya. Namun, diantara mereka ada pula yang membedakan keduanya sehingga menjadikan perkara qadla itu sesuatu dan qadar sesuatu yang lain.

Demikianlah polemiknya berlangsung seputar pembahasan qadla dan qadar sebagai sebutan tertentu, baik menurut orang yang membedakan antara keduanya atau menjadikan keduanya sebagai perkara yang saling berhubungan. Istilah tersebut memiliki penunjukan yang sama bagi semuanya. Berdasarkan tafsir apa pun hal itu menyangkut perbuatan hamba dari sisi pengadaannya, apakah Allah yang mengadakannya ataukah hamba; atau Allah yang menciptakannya ketika hamba melakukannya? polemiknya memusat dan terfokus pada penunjukan ini, dan diskusi tetap berputar-putar pada sisi yang sama. Setelah munculnya pembahasan ini, qadla dan qadar ditempatkan dalam perkara akidah, dan dijadikan pilar yang keenam dari pilar-pilar akidah. Sebab ia menunjukkan pada perkara yang berhubungan dengan Allah, yaitu bahwa Dialah yang menciptakan perbuatan dan menciptakan khasiat-khasiat dari sesuatu, entah perbuatan dan khasiat tersebut baik atau buruk.

Dengan demikian jelas bahwa qadla dan qadar adalah sebutan terhadap suatu pengertian yang sama. Berdasarkan ungkapan mereka, keduanya adalah perkara yang saling berhubungan. Topik ini tidak terdapat dalam pembahasan kaum Muslim kecuali setelah adanya mutakallimin. Dan tidak terdapat dalam masalah qadla dan qadar kecuali dua pendapat, yaitu hurriyatul ikhtiyar yang menjadi pendapat kelompok mu’tazilah, dan ijbar yang merupakan pendapat jabariyah, serta ahli sunnah yang tetap berbeda pendapat dengan keduanya dalam pengungkapan dan pengutaraan pendapat terhadap lafadz-lafadz. Kaum Muslim tetap pada dua pendapat ini. Mereka dipalingkan pandangannya dari al-Quran dan Hadits, serta apa yang dipahami oleh para sahabat, beralih ke polemik dengan nama baru yaitu qadla dan qadar atau jabr dan ikhtiyar atau hurriyatul iradah. Dan dalam pengertian yang baru yaitu: Apakah seluruh perbuatan didasari oleh qudrah dan iradah hamba ataukah didasari oleh qudrah dan iradah Allah? Apakah segala yang ditimbulkan oleh manusia atas sesuatu berupa khasiat-khasiat merupakan bagian dari perbuatan dan iradah hamba ataukah hal itu berasal dari Allah Swt? Setelah munculnya pembahasan ini permasalahan qadla dan qadar diletakkan dalam pembahasan akidah, lalu perkara ini menjadi pilar keenam diantara pilar-pilar akidah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar