Senin, 10 Oktober 2016

Asal Usul Mutakallimin dan Metodologinya

ASAL USUL MUTAKALLIMIN DAN METODOLOGINYA


Kaum Muslim telah mengimani Islam dengan keimanan yang tidak diliputi keraguan. Keimanan mereka sangat kuat. Tidak terdapat pada diri mereka pertanyaan apapun yang mengindikasikan keragu-raguan. Dalam konteks pemikiran mereka tidak membahas ayat-ayat al-Quran kecuali pembahasan yang makna-maknanya dapat mereka jangkau. Mereka tidak membahas pengandaian-pengandaian atas perkara yang ditimbulkannya, dan tidak pula membahas kesimpulan-kesimpulan mantiq yang dihasilkannya. Mereka keluar ke dunia mengemban dakwah Islam kepada seluruh manusia. Mereka berperang di jalan Islam, menaklukkan (membuka) banyak negeri dan berbagai bangsapun mendekati kaum Muslim.

Abad pertama hijriahpun berakhir dan arus dakwah Islam menyapu apapun yang ada di hadapannya. Pemikiran-pemikiran Islam disampaikan kepada orang-orang sebagaimana kaum Muslim menerimanya dengan pemahaman yang cemerlang, keimanan yang kuat dan kesadaran yang sangat tinggi. Hanya saja pengembangan dakwah Islam ke negeri-negeri yang telah ditaklukkan berdampak pada benturan-benturan pemikiran dengan pengikut agama-agama lain yang berasal dari orang-orang yang belum memeluk Islam dan orang-orang yang sudah memeluknya. Benturan pemikiran ini amat kuat. Para penganut agama lain telah mengenal sebagian dari pemikiran-pemikiran filsafat, dan mereka memiliki pendapat-pendapat yang mereka ambil dari agama-agama mereka. Mereka juga mengobarkan syubhat (keragu-raguan). Mereka berdebat dengan kaum Muslim dalam masalah akidah. Karena asas dakwah bertumpu pada akidah maupun dengan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan akidah, maka kepedulian kaum Muslim terhadap dakwah Islam, dan kebutuhan mereka untuk menjawab lawan-lawan mereka telah menjadikan kebanyakan mereka mempelajari pemikiran-pemikiran filsafat agar mereka memiliki senjata untuk melawan musuh-musuh mereka. Yang menjadi alasan dan mendorong mereka untuk menpelajari filsafat melebihi perhatian mereka terhadap pengembangan dakwah dan melontarkan perdebatan terhadap musuh-musuh mereka terdiri dari dua faktor yaitu:

Pertama bahwa al-Quran disamping mengajak kepada tauhid dan kenabian juga memaparkan aliran-aliran dan agama-agama terpenting yang telah tersebar pada masa Nabi Muhammad saw. Al- Quran menolak dan membantah perkataan mereka. Al-Quran telah memaparkan syirik dengan segala jenisnya dan al-Quran membantahnya. Di antara kaum musyrik ada yang menjadikan bintang-bintang sebagai tuhan dan menjadikannya sekutu bagi Allah. Al-Quran pun membantahnya. Di antara mereka ada pula yang menyembah patung-patung dan mereka menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah. Al-Quran pun membantahnya. Sebagian mereka ada yang mengingkari kenabian. Al-Quran pun membantahnya. Di antara mereka ada yang mengingkari kenabian Muhammad. Al-Quran pun membantahnya. Sebagian mereka ada yang mengingkari hari kebangkitan. Al-Quran pun membantahnya. Sebagian mereka ada yang menjadikan Nabi Isa as sebagai tuhan atau menjadikannya sebagai anak Allah. Al-Quran pun membantannya. Tidak cukup dengan itu Rasulullah saw memerintahkan untuk berdebat dengan mereka.


وَجَـٰدِلۡهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ‌ۚ

Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (TQS. an-Nahl [16]: 125)


وَلَا تُجَـٰدِلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلۡڪِتَـٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ

Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik. (TQS. al-‘Ankabut [29]: 46)

Kehidupan Rasulullah penuh dengan pergolakan pemikiran dengan orang-orang kafir, baik dari kalangan kaum musyrik maupun ahlul kitab. Banyak kejadian yang meriwayatkan tentang beliau ketika berada di Makkah dan Madinah, di mana beliau berdebat dengan orang-orang kafir dan membantah mereka, baik individu, kelompok maupun dengan para utusan. Pergolakan pemikiran yang sangat gamblang ini terdapat di dalam ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasul serta pada aktivitas-aktivitas beliau. Hal ini dibaca dan didengar oleh kaum Muslim. Karena itu merupakan hal yang alami mereka berdiskusi dengan para pemeluk agama lain dan mengajak mereka dalam pergolakan pemikiran di mana kaum Muslim berdebat dengan mereka. Hukum-hukum agama mereka (kaum Muslim) mengajaknya kepada perdebatan, dan tabiat dakwah Islam (senantiasa) berbenturan dengan kekafiran. Maka tidak mungkin terjadi antara dakwah Islam dan kekufuran melainkan pergolakan, diskusi dan perdebatan. Aspek aqliyah yang menjadikannya ada pergolakan. Karena al-Quran sendiri menyeru untuk menggunakan akal. Lagi pula al-Quran datang dengan dalil-dalil aqli dan bukti-bukti nyata, serta mengajak kepada akidah Islam yang bertumpu kepada dalil aqli, bukan kepada dalil naqli. Jadi suatu keniscayaan menggunakan perdebatan dan pergolakan dalam aspek aqliyah, serta berjalan sesuai dengan tabiatnya.

Kedua, menyusupnya masalah filsafat teologi nasrani Nasathirah dan yang sejenisnya. Kaum Muslim mengenal mantiq Aristoteles. Di antara mereka ada yang mempelajari sebagian buku-buku filsafat. Banyak buku-buku dari Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Suriani, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Meski pada akhirnya diterjemahkan langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal inilah yang mendorong munculnya pemikiran-pemikiran filsafat. Lagi pula sebagian agama-agama lain terutama Yahudi dan Nasrani memiliki bekal filsafat Yunani. Merekalah yang memasukkan pemikiran-pemikiran filsafat ke negeri Islam. Ini menimbulkan adanya pemikiran-pemikiran filsafat yang memaksa kaum Muslim untuk mempelajarinya.

Dua faktor tersebut, yaitu hukum-hukum dan pemikiran-pemikiran Islam dalam berdebat, dan adanya pemikiran-pemikiran filsafat; kedua faktor inilah yang mendorong kaum Muslim beralih kepada pembahasan-pembahasan yang bersifat logika dan pemikiran-pemikiran filsafat. Mereka pelajari dan mereka jadikan sebagai materi dalam diskusi dan perdebatan. Namun semua itu bukan (ditujukan) mempelajari filsafat secara utuh. Pemikiran-pemikiran filsafat dipelajari untuk membantah (orang-orang) Nasrani dan Yahudi. Sebab, tidak mungkin bagi kaum Muslim membantah mereka kecuali dengan mempelajari pemikiran-pemikiran filsafat Yunani, terutama yang berhubungan dengan mantiq dan ketuhanan. Itulah yang mendorong mereka untuk menguasai aliran-aliran asing, pemikiran-pemikirannya serta argumentasinya. Dengan demikian negeri-negeri Islam menjadi arena yang di dalamnya dituangkan seluruh pendapat, seluruh agama dan perdebatan. Tidak diragukan lagi bahwa perdebatan memerlukan upaya pengkajian dan pemikiran. Dan munculnya keragaman perkara memerlukan perenungan dan masing-masing aliran mengambil sesuatu yang menurutnya benar. Perdebatan dan pemikiran ini sangat berpengaruh hingga mampu mewujudkan individu-individu yang mengikuti metode baru dalam pembahasan, perdebatan dan diskusi. Pemikiran-pemikiran filsafat yang mereka pelajari sangat mempengaruhi mereka dalam cara beristidlal (pengambilan dalil), juga terhadap sebagian pemikiran mereka. Dengan pemaparan tadi terbentuklah ilmu kalam yang menjadi ilmu tersendiri. Kemudian muncul di negeri-negeri Islam dan di tengah-tengah kaum Muslim kelompok mutakallimin (ahli kalam).

Para mutakallimin ini bertujuan untuk membela Islam dan menjelaskan hukum-hukumnya serta menerangkan pemikiran-pemikiran al-Quran. Jadi, yang sangat mempengaruhi mereka dan menjadi asas mereka adalah al-Quran. Asas yang dijadikan sebagai dasar pembahasan mereka adalah al-Quran. Mereka mempelajari filsafat hanya untuk membela al-Quran. Mereka membekali dengan filsafat untuk menyerang musuh mereka. Akibatnya mereka memiliki metode khusus dalam pembahasan, pengambilan keputusan dan penetapan dalil, yang berbeda dengan metode al-Quran, hadits maupun perkataan para sahabat. Juga berbeda dengan metode para filosof Yunani di dalam pembahasan, pengambilan keputusan dan penetapan argumentasi mereka.

Metode mereka dengan metode al-Quran berbeda. Sandaran dakwah al-Quran adalah asas yang bersifat fitri. Dengan bersandar kepada hal yang fitri ini al-Quran menyeru manusia dengan sesuatu yang selaras dengan fitrah manusia. Pada waktu yang sama al-Quran juga bersandar pada asas yang bersifat aqli. Al-Quran bersandar kepada akal seraya menyerunya. Allah berfirman:


إِنَّ ٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ لَن يَخۡلُقُواْ ذُبَابً۬ا وَلَوِ ٱجۡتَمَعُواْ لَهُ ۥ‌ۖ وَإِن يَسۡلُبۡہُمُ ٱلذُّبَابُ شَيۡـًٔ۬ا لَّا يَسۡتَنقِذُوهُ مِنۡهُ‌ۚ ضَعُفَ ٱلطَّالِبُ وَٱلۡمَطۡلُوبُ (٧٣)

Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun,walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (TQS. al-Hajj [22]: 73)


فَلۡيَنظُرِ ٱلۡإِنسَـٰنُ مِمَّ خُلِقَ (٥) خُلِقَ مِن مَّآءٍ۬ دَافِقٍ۬ (٦) يَخۡرُجُ مِنۢ بَيۡنِ ٱلصُّلۡبِ وَٱلتَّرَآٮِٕبِ (٧)

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. (TQS. ath-Thariq [86]: 5-7)


فَلۡيَنظُرِ ٱلۡإِنسَـٰنُ إِلَىٰ طَعَامِهِۦۤ (٢٤) أَنَّا صَبَبۡنَا ٱلۡمَآءَ صَبًّ۬ا (٢٥) ثُمَّ شَقَقۡنَا ٱلۡأَرۡضَ شَقًّ۬ا (٢٦) فَأَنۢبَتۡنَا فِيہَا حَبًّ۬ا (٢٧) وَعِنَبً۬ا وَقَضۡبً۬ا (٢٨) وَزَيۡتُونً۬ا وَنَخۡلاً۬ (٢٩) وَحَدَآٮِٕقَ غُلۡبً۬ا (٣٠) وَفَـٰكِهَةً۬ وَأَبًّ۬ا (٣١)

Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan. (TQS. ‘Abasa[80]: 24-31)


أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلۡإِبِلِ ڪَيۡفَ خُلِقَتۡ (١٧) وَإِلَى ٱلسَّمَآءِ ڪَيۡفَ رُفِعَتۡ (١٨) وَإِلَى ٱلۡجِبَالِ كَيۡفَ نُصِبَتۡ (١٩) وَإِلَى ٱلۡأَرۡضِ كَيۡفَ سُطِحَتۡ (٢٠)

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (TQS. al-Ghasyiyah [88]: 17-20)


وَفِىٓ أَنفُسِكُمۡ‌ۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ (٢١)

Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (TQS. adz-Dzariyat [51]: 21)


أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya. (TQS. an-Naml [27]: 62)
 

Demikianlah metode al-Quran dalam membuktikan atau menetapkan kekuasaan Allah, ilmu dan iradah-Nya yang bertumpu atas dasar fitrah dan akal. Metode ini sesuai dengan fitrah. Setiap manusia merasakan di relung jiwanya sebagai respon dan perhatian terhadap metode tadi. Bahkan seorang ateispun akan menerima dan memperhatikan. Itu adalah metode yang sesuai untuk seluruh manusia, tanpa membedakan lagi kelompok khusus maupun umum, terpelajar ataupun tidak.

Ayat-ayat yang mutasyabihat didalamnya bersifat umum (ijmal), tidak ada kepastian (samar) bagi si pembahas. Ayat-ayat tersebut datang secara umum, tidak rinci, atau datang dalam bentuk mensifati sesuatu secara umum, atau berbentuk keterangan terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak (biasa) dibahas, tidak terkenal dan tidak dijadikan sebagai dalil. Orang yang membacanya tidak menyukai dan tidak mengetahui hakekat yang dimaksud kecuali sebatas penunjukkan lafadz-lafadznya. Karena itu merupakan hal yang wajar untuk bersikap pasrah (menerima) apa adanya dalam mensifati fakta apapun dan dalam menerangkan hakekat apapun tanpa menyertakan illat maupun dalil. Terdapat ayat-ayat yang menggambarkan aspek perbuatan manusia, ada yang menunjukkan corak jabariyah (terpaksa). Ada pula ayat-ayat yang menggambarkan aspek yang lain, yang menunjukkan corak ikhtiar (pilihan). Allah Swt berfirman:


يُرِيدُ ٱللَّهُ بِڪُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِڪُمُ ٱلۡعُسۡرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (TQS. al-Baqarah [2]: 185)


وَمَا ٱللَّهُ يُرِيدُ ظُلۡمً۬ا لِّلۡعِبَادِ (٣١)

Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya. (TQS. al-Mukmin [40]: 31)

Saat yang sama akan dijumpai firman Allah:


فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُ ۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُ ۥ لِلۡإِسۡلَـٰمِ‌ۖ وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُ ۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُ ۥ ضَيِّقًا حَرَجً۬ا

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit. (TQS. al-An’am [6]: 125)  

Terdapat pula ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah Swt memiliki wajah, tangan, dan dinyatakan bahwa Dia adalah cahaya langit dan bumi. Juga ayat yang menyatakan bahwa Allah berada di langit:


ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ أَن يَخۡسِفَ بِكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فَإِذَا هِىَ تَمُورُ (١٦)

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu. (TQS. al-Mulk [67]: 16)


وَجَآءَ رَبُّكَ وَٱلۡمَلَكُ صَفًّ۬ا صَفًّ۬ا (٢٢)

Dan datanglah Tuhanmu sedang malaikat berbaris-baris. (TQS. al-Fajr [89]: 22)


وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ
Dan tetap kekal wajah Tuhanmu. (TQS. ar-Rahman [55]: 27)

بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ
Tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka. (TQS. al-Maidah [5]: 64)

Terdapat juga ayat-ayat yang menyatakan kemahasucian Allah:


لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ۬‌ۖ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (TQS. asy-Syura [42]: 11)

مَا يَڪُونُ مِن نَّجۡوَىٰ ثَلَـٰثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمۡ وَلَا خَمۡسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُہُمۡ وَلَآ أَدۡنَىٰ مِن ذَٲلِكَ وَلَآ أَڪۡثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمۡ

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada. (TQS. al-Mujadalah [58]: 7)


سُبۡحَـٰنَ ٱللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ (١٥٩)

Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. (TQS. ash-Shaaffaat [37]: 159)

 

Demikianlah di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang tampaknya seperti kontradiktif. Al-Quran menyebutnya dengan mutasyabihat. Allah Swt berfirman:

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِنۡهُ ءَايَـٰتٌ۬ مُّحۡكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتٌ۬‌ۖ

Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Quran. Dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. (TQS. Ali Imran [3]: 7)

Tatkala ayat ayat tersebut diturunkan dan Rasul menyampaikannya kepada manusia kaum Muslimpun mengimaninya dan menghafalnya diluar kepala. Tidak terdapat pada diri mereka pembahasan atau perdebatan. Mereka juga tidak pernah melihat di dalamnya hal-hal yang kontradiktif yang memerlukan penyesuaian. Mereka memahami seluruh ayat dalam bentuk yang telah diterangkan dan telah ditetapkannya. Ayat tersebut telah menyatu dengan fakta dan telah melekat dengan diri mereka. Mereka beriman dan membenarkannya serta memahaminya dengan pemahaman yang utuh seraya merasa puas dengan pemahaman ini, dan menganggap ayat-ayat tersebut sebagai penjelas atas berbagai fakta dan sebagai pemutus atas berbagai hakekat. Kebanyakan orang yang memiliki akal tidak ingin masuk kedalam pembahasan yang lebih rinci dan memperdebatkan ayat-ayat mutasyabihat, dan ia berpendapat bahwa hal itu bukan termasuk kemaslahatan bagi Islam. Bagi setiap orang yang memahami cukuplah dengan pemahaman (atas makna-maknanya) secara global mengharuskannya tidak perlu masuk kedalam rincian-rincian dan berbagai perkara yang merupakan cabang. Begitulah kaum Muslim memahami metode al-Quran dan bersinggungan dengan ayat-ayat al-Quran. Dengan dasar tersebut mereka berjalan pada masa Rasul. Lalu diikuti oleh orang-orang setelah mereka hingga berakhir abad pertama (hijriah).

Metode mereka amat berbeda dengan metode filsafat. Para filosof berpijak pada bukti-bukti saja. Mereka menyusun bukti-bukti berdasarkan mantiq (logika). Dengan menyusun premis minor dan premis mayor serta kesimpulan. Mereka menggunakan lafadz-lafadz dan istilah-istilah tentang sesuatu, seperti jauhar, ‘aradh dan sejenisnya. Kemudian mereka selalu memfokuskan problema-problema yang bersifat logika dan membangunnya berdasarkan mantiq, bukan berdasarkan empirik ataupun fakta.

Metode mutakallimin dalam pembahasan ini berbeda dengan mereka (para filosof-pen). Para ahli kalam beriman terhadap Allah dan Rasul-Nya. Juga beriman dengan apa yang dibawa oleh Rasul-Nya. Dengan asas tersebut mereka berargumentasi dengan dalil-dalil aqli yang bersifat mantiqi. Mereka mulai membahas tentang baharunya alam (huduts al-‘alam) dan membuat dalil atas baharunya segala sesuatu. Lalu hal itu semakin meluas sehingga muncul topik-topik baru di hadapan mereka, dan merekapun membahasnya. Mereka membahas cabang-cabang dari perkara tersebut hingga akhir dari proses mantiq. Mereka membahas ayat-ayat bukan untuk dipahami sebagaimana metode pendahulu mereka, dan sebagaimana tujuan dari al-Quran. Yang mereka lakukan adalah mengimaninya, lalu membuat argumentasi terhadap ayat tersebut (berdasarkan bukti-bukti) tentang apa yang mereka pahami. Ini merupakan salah satu aspek pembahasan. Dalam aspek pembahasan lainnya, yaitu pandangannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat para ahli kalam tidak merasa puas dengan keimanannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat secara global tanpa adanya rincian. Setelah mengkaji ayat-ayat tersebut secara keseluruhan, mereka mengumpulkan ayat-ayat yang secara dzahir terdapat kontradiksi di dalamnya, seperti al-jabr dan al-ikhtiar, juga ayat-ayat yang di dalamnya tampak jismiyatullah (bentuk jasad Allah). Akal telah mendominasi mereka dalam memahami ayat-ayat tersebut. Mereka bersikap lancang terhadap sesuatu di mana orang-orang selain mereka tidak akan berbuat lancang seperti itu. Mereka membawa setiap perkara kepada ar-ra’yu (rasio). Apabila mereka telah sampai kepada ra’yunya tadi mereka bersandar kepada ayat-ayat yang -menurut pendapat mereka kontradiktif-, maka mereka melakukan ta’wil. Ta’wil adalah ciri pertama yang sangat tampak pada ahli kalam (mutakallmin). Jika suatu pembahasan mengarah pada bahwa Allah tidak terikat (bebas) dengan arah dan tempat, maka mereka menta’wil ayat-ayat tersebut seraya mengisyaratkan bahwa Allah Swt berada diatas langit. Mereka juga menta’wil al-istiwa’ ‘ala al-arsy dengan bersemayamnya Allah diatas kursi arsy. Jika suatu pembahasan mengarah kepada penafian (peniadaan) arah bagi Allah dan mata manusia tidak mungkin melihat-Nya, maka mereka menta’wilkan pemberitahuan (al-ikhbar) dengan menyatakan bahwa manusia melihat Allah. Demikianlah ta’wil merupakan salah satu alat ahli kalam dan menjadi ciri khas paling mencolok yang membedakan mereka dari para pendahulunya.

Metode pembahasan ini memberikan kepada akal kebebasan untuk membahas segala sesuatu, baik hal itu bisa dijangkau maupun tidak, baik itu menyangkut alam maupun metafisika, baik yang dapat diindera maupun yang tidak dapat diindera. Dapat dipastikan bahwa mereka menjadikan akal sebagai asas terhadap al-Quran, bukan menjadikan al-Quran sebagai asas bagi akal. Jika pada sisi pena’wilan ini terdapat petunjuk, maka dengan sendirinya mereka menuju kearah (tanda) mana pun yang mereka anggap bahwa akal mampu melihatnya. Akibatnya terjadi pertentangan yang sangat lebar diantara mereka. Jika suatu kelompok menunjukkan suatu perspektif pada al-ikhtiar dan menta’wilkan jabr, maka perspektif selain (kelompok) mereka terkadang menunjukkan kepada penetapan jabr dan menta’wilkan ayat-ayat tentang ikhtiar. Selain mereka terdapat juga (kelompok lain) yang mempertemukan antara pendapat pertama dengan pendapat kedua, lalu menghasilkan pendapat yang baru. Ada dua perkara yang sangat menonjol pada seluruh mutakallimin. Yaitu, (pertama) dalam beragumentasi bersandarkan kepada mantiq dan membuat premis-premis yang tidak mengacu pada perkara yang dapat diindera, dan (kedua) berdasarkan pada penta’wilan ayat-ayat yang hasilnya kontradiktif dengan kesimpulan yang mereka capai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar