Jumat, 20 September 2019

Nabi-Nabi dan Rasul

NABI-NABI DAN RASUL


Nabi dan Rasul merupakan dua lafadz yang berbeda, akan tetapi bersatu dalam hubungannya dengan syara’. Perbedaannya adalah, bahwa Rasul merupakan orang yang diwahyukan kepadanya syariat dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Sedangkan Nabi adalah orang yang diwahyukan kepadanya syariat yang telah dibawa oleh sebagian Rasul dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Jadi, Rasul adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariatnya sendiri. Sedangkan Nabi adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariat (yang telah ada dan diwahyukan kepada Rasul sebelumnya-pen). Al-Qadli al-Baidlawi di dalam menafsirkan firman Allah Swt:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ۬ وَلَا نَبِىٍّ ... (٥٢)
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi. (TQS. al-Hajj [22]: 52)

berkata: ‘Rasul adalah orang yang diutus oleh Allah Swt dengan syariat yang baru untuk mengajak manusia kepadanya. Dan Nabi adalah orang yang diutus oleh Allah Swt untuk menyampaikan syariat yang sebelumnya’. Maka sayyidina Musa as adalah seorang Nabi karena diberikan kepadanya wahyu berupa syariat, dan beliau juga adalah Rasul karena syariat yang diwahyukan kepadanya adalah risalah baginya. Sedangkan sayyidina Harun as adalah seorang Nabi,karena beliau diberi wahyu berupa syariat. Namun beliau bukanlah Rasul karena syariat yang diwahyukan kepadanya untuk disampaikan kepada orang lain bukanlah risalah baginya melainkan risalahnya Musa as. Sayyidina Muhammad saw adalah Nabi, karena beliau adalah diberi wahyu berupa syariat. Beliau juga seorang Rasul, karena syariat yang diwahyukan kepadanya merupakan risalah baginya. Risalah merupakan mediasi/tali penghubung hamba antara Allah dengan hamba itu sendiri, untuk menjelaskan solusi-solusi yang diperlukan demi kemaslahatan dunia dan akhirat. Hikmah (Allah) mengharuskan diutusnya Rasul-rasul karena di dalamnya terdapat hukum (kebijaksanaan) dan kemaslahatan. Pengutusan para Rasul benar-benar telah terjadi. Allah telah mengutus para Rasul dari kalangan manusia kepada manusia dengan membawa kabar gembira bagi golongan yang beriman dan bertakwa, berupa surga dan pahala. Lalu memberikan peringatan kepada golongan kafir dan berbuat maksiat, berupa neraka dan azab yang pedih. Mereka menjelaskan kepada manusia apa saja yang diperlukannya berupa perkaraperkara dunia dan akhirat. Hal ini tidak memberi jalan bagi akal untuk menelusurinya, karena tidak adanya pengetahuan tentang manusia dan keadaan tentang dirinya sendiri. Allah telah menguatkan para Nabi dan Rasul dengan segala mukjizat yang luar biasa. Mukjizat adalah perkara yang nampak diluar kebiasaan melalui tangan-tangan yang mengaku dirinya sebagai Nabi, untuk menentang para pelaku munkar dengan melemahkan mereka untuk mendatangkan hal yang semisalnya. Jika hal ini tidak didukung dengan mukjizat, sungguh tidak wajib menerima perkataannya, dan tidak bisa dibedakan antara orang yang benar mengaku sebagai Rasul dengan orang yang berbohong. Dengan tampaknya mukjizat maka muncul kepastian akan kebenaran ke-Rasulannya bagi orang yang merasa puas dengan mukjizat tersebut, dan mukjizat tidak muncul (berasal) dari manusia.

Nabi yang pertama adalah Adam ‘alaihissalam, dan yang terakhir adalah Muhammad saw. Ke-Nabian Adam telah terbukti dengan al-Quran. Allah Swt berfirman: 

إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰٓ ءَادَمَ وَنُوحً۬ا وَءَالَ إِبۡرَٲهِيمَ وَءَالَ عِمۡرَٲنَ عَلَى ٱلۡعَـٰلَمِينَ (٣٣)

Sesungguhnya Allah Telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing). (TQS Ali Imran [3]: 33)

وَعَصَىٰٓ ءَادَمُ رَبَّهُ ۥ فَغَوَىٰ (١٢١) ثُمَّ ٱجۡتَبَـٰهُ رَبُّهُ ۥ فَتَابَ عَلَيۡهِ وَهَدَىٰ (١٢٢)...

Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. (TQS. Thaha [20]: 121-122)

Makna dari ijtibaahu pada ayat tersebut adalah Dia memilihnya. Selain itu juga al-Quran menunjukkan bahwa Allah memerintah Adam dan melarangnya. Allah Swt berfirman: 

وَقُلۡنَا يَـٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا حَيۡثُ شِئۡتُمَا وَلَا تَقۡرَبَا هَـٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ ... (٣٥)

Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini’. (TQS. al-Baqarah [2]: 35)

Ditambah lagi suatu kepastian bahwa pada zamannya tidak terdapat Nabi selain beliau. Beliau adalah seorang Nabi {yang diberitakan} melalui wahyu, bukan dengan yang lainnya. Nabi adalah orang yang diberi wahyu berupa syariat. Dan setiap perintah dan larangan merupakan syariat. Jadi hal ini telah diwahyukan kepadanya, maka dia adalah Nabi. Begitu pula tentang ke-Nabiannya telah ditetapkan di dalam Sunnah. Telah diriwayatkan dari Tirmidzi berupa hadits dari Abu Sa’id al-Khudri:

Begitu juga berdasarkan kesepakatan para sahabat bahwa Adam adalah seorang Nabi.

Adapun tentang ke-Nabian Muhammad saw, maka beliau menyebut dirinya sebagai Nabi dan menampakkan mukjizatnya. Pengakuan beliau mengenai ke-Nabiannya telah diketahui secara mutawatir, yang berarti kebenarannya pasti. Tentang penampakkan mukjizat, beliau menyampaikan kalam Allah Swt sekaligus menantang para bulagha’ (orang-orang yang terkenal fasih berbahasa Arab-pen) yang sempurna balaghahnya. Namun, mereka tidak mampu menandingi surat yang paling pendek (sekalipun) walau mereka berupaya keras menandinginya. Lalu mereka menentangnya dengan melontarkan kata-kata dan balaghah, padahal mereka orang yang ahli dalam masalah ini, hingga menentangnya dengan cara kekerasan dan pedang. Lagi pula tidak pernah sampai dari seorangpun di antara mereka –agar terpenuhi unsur penyampaian– bahwa mereka mampu mendatangkan sesuatu yang mendekatinya (al-Quran-pen). Hal ini menunjukkan dengan pasti bahwa al-Quran datang dari Allah Swt. Dan dapat diketahui melalui al-Quran kebenaran pengakuan Nabi Muhammad saw secara meyakinkan.

Bilangan para Nabi dan Rasul itu tidak diketahui, karena Allah Swt berfirman kepada Rasulullah saw:

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلاً۬ مِّن قَبۡلِكَ مِنۡهُم مَّن قَصَصۡنَا عَلَيۡكَ ... (٧٨)
 Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.
(TQS. al-Mukmin [40]: 78)


Meskipun tentang bilangan (Nabi dan Rasul) diriwayatkan pada beberapa hadits, akan tetapi hadits-hadits yang menjelaskan bilangan para Nabi dan Rasul adalah khabar ahad, yang tidak diterima (hujjahnya) dalam masalah akidah. Andaikata khabar ahad itu memenuhi seluruh syarat yang disebutkan dalam ilmu hadits, hal itu tidak menunjukkan apapun kecuali dugaan saja (dzanni). Dan hal yang dzanni tidak diterima (hujjahnya) dalam masalah akidah. Karena itu hal yang datang dari mereka dibatasi oleh al-Quran al-Karim, karena bersifat qath’i (pasti). Selain itu tidak ada riwayat dari mereka tentang bilangan (Nabi dan Rasul) di dalam hadits mutawattir. Beberapa dari mereka disebutkan di dalam al-Quran. Allah Swt berfirman:

 وَتِلۡكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيۡنَـٰهَآ إِبۡرَٲهِيمَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ‌ۚ نَرۡفَعُ دَرَجَـٰتٍ۬ مَّن نَّشَآءُ‌ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ۬ (٨٣) وَوَهَبۡنَا لَهُ ۥۤ إِسۡحَـٰقَ وَيَعۡقُوبَ‌ۚ ڪُلاًّ هَدَيۡنَا‌ۚ وَنُوحًا هَدَيۡنَا مِن قَبۡلُ‌ۖ وَمِن ذُرِّيَّتِهِۦ دَاوُ ۥدَ وَسُلَيۡمَـٰنَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَىٰ وَهَـٰرُونَ‌ۚ وَكَذَٲلِكَ نَجۡزِى ٱلۡمُحۡسِنِينَ (٨٤) وَزَكَرِيَّا وَيَحۡيَىٰ وَعِيسَىٰ وَإِلۡيَاسَ‌ۖ كُلٌّ۬ مِّنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ (٨٥) وَإِسۡمَـٰعِيلَ وَٱلۡيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطً۬ا‌ۚ وَڪُلاًّ۬ فَضَّلۡنَا عَلَى ٱلۡعَـٰلَمِينَ (٨٦) وَمِنۡ ءَابَآٮِٕهِمۡ وَذُرِّيَّـٰتِہِمۡ وَإِخۡوَٲنِہِمۡ‌ۖ وَٱجۡتَبَيۡنَـٰهُمۡ وَهَدَيۡنَـٰهُمۡ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬ (٨٧) ذَٲلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَہۡدِى بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ‌ۚ وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ (٨٨) أُوْلَـٰٓٮِٕكَ ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَـٰهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ‌ۚ .. (٨٩)

Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Ya‘qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Yahya, ‘Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh. dan Ismail, Alyasa‘, Yunus dan Luth. Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya), (dan Kami lebihkan pula derajat) sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi Nabi-nabi dan Rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus. Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hambahamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka
itulah orang-orang yang telah kami berikan kepada mereka kitab, hikmat (pemahaman agama) dan kenabian. (TQS. al-An’aam [6]:83-89)

وَإِسۡمَـٰعِيلَ وَإِدۡرِيسَ وَذَا ٱلۡكِفۡلِ‌ۖ ڪُلٌّ۬ مِّنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ (٨٥) وَأَدۡخَلۡنَـٰهُمۡ فِى رَحۡمَتِنَآ‌ۖ إِنَّهُم مِّنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ (٨٦)

 Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. Kami telah memasukkan mereka ke dalam rahmat Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orangorang
yang saleh. (TQS. al-Anbiya [21]: 85-86)


وَإِلَىٰ مَدۡيَنَ أَخَاهُمۡ شُعَيۡبً۬ا‌ۗ ... (٨٥)

 Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu‘aib. (TQS. al-A’raf [7]:85)

 وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمۡ صَـٰلِحً۬ا‌ۗ ... (٧٣)

 Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shaleh. (TQS. al-A’raf [7]: 73)

  وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمۡ هُودً۬ا‌ۗ ... (٦٥)

 Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. (TQS. al-A’raf [7]: 65)

 وَيَـٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ ... (١٩)

 (Dan Allah berfirman): ‘Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga. (TQS. al-A’raf [7]: 19)

 مُّحَمَّدٌ۬ رَّسُولُ ٱللَّهِ‌ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُ ۥۤ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَہُمۡ‌ۖ ... (٢٩)

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (TQS. al-Fath [48]: 29)


Keberadaan seluruh Nabi dan Rasul adalah sebagai orang yang menyampaikan (wahyu) dari Allah Swt, karena inilah makna dari ke-Nabian dan ke-Rasulan. Selain itu juga sebagai penyampai kebenaran dan sebagai pemberi nasehat bagi manusia agar pengutusan dan risalahnya tidak menjadi sia-sia. Mereka ma’shum (terpelihara) dari berbuat bohong dan berbuat kesalahan didalam tabligh (penyampaian). Mereka juga terpelihara dari perilaku maksiat. Tidak ada berita tentang Nabi dan Rasul dalam dalil naqli yang qath’i --al-Quran maupun hadits mutawatir-- yang menyatakan adanya salah seorang di antara mereka melakukan kemaksiyatan setelah diutus menjadi nabi dan rasul. Kalaupun ada, semua berdasar pada hadits-hadits yang dzanni tsubut dan ayat-ayat yang dzanni dalalah. Sementara dalil dzanni tidak bisa dibenturkan dengan dalil aqli tentang ishmah (kemaksiyatan nabi).

Sedangkan berita dalam al-Quran tentang Adam AS yang memakan buah dari pohon yang dilarang allah, al itu tidak bertentangan dengan keharusan ishmah yang terpelihara pada penyampaian risalah kepada manusia di dunia. sebab peristiwa itu terjadi di surga yang hikmahnya hanya diketahui Allah Swt. Berarti itu merupakan topik lain. Perkara ishmah hanya berkaitan dengan risalah untuk manusia di atas bumi, di dunia.